Senin, 23 Februari 2015

Bid'ah dari Sisi Syariat dan Bahasa









Definisi bid'ah menurut para ulama

 Imam Al-'Iz bin 'Abdissalam berkata :

هِيَ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَهْدِ الرَّسُوْلِ

((Bid'ah adalah mengerjakan perkara yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Qowa'idul Ahkam 2/172)

Imam An-Nawawi berkata :

هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

((Bid'ah adalah mengada-ngadakan sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah)) (Tahdzibul Asma' wal lugoot 3/22)

Imam Al-'Aini berkata :

هِيَ مَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَصْلٌ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقِيْلَ: إِظْهَارُ شَيْءٍ لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ

((Bid'ah adalah perkara yang tidak ada asalnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan dikatakan juga (bid'ah adalah) menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak ada juga di masa para sahabat)) (Umdatul Qori' 25/37)

Ibnu 'Asaakir berkata :

مَا ابْتُدِعَ وَأُحْدِثَ مِنَ الأُمُوْرِ حَسَناً كَانَ أَوْ قَبِيْحًا

((Bid'ah adalah perkara-perkara yang baru dan diada-adakan baik yang baik maupun yang tercela)) (Tabyiinu kadzibil muftari hal 97)

Al-Fairuz Abadi berkata :

الحَدَثُ فِي الدَّيْنِ بَعْدَ الإِكْمَالِ، وَقِيْلَ : مَا استَحْدَثَ بَعْدَهُ مِنَ الأَهْوَاءِ وَالأَعْمَالِ

((Bid'ah adalah perkara yang baru dalam agama setelah sempurnanya, dan dikatakan juga : apa yang diada-adakan sepeninggal Nabi berupa hawa nafsu dan amalan)) (Basoir dzawi At-Tamyiiz 2/231)

Dari defenisi-defenisi di atas maka secara umum dapat kita simpulkan bahwa bid'ah adalah segala perkara yang terjadi setelah Nabi, sama saja apakah perkara tersebut terpuji ataupun tercela dan sama saja apakah perkara tersebut suatu ibadah maupun perkara adat.

√Bid'ah Secara Syariat

Bid'ah secara syariat semuanya adalah haram tanpa pengecualian,sebagaimana hadist Rasulullah

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676.)

Rasulullah tidak memberi pengecualian terkait bid'ah dalam syariat yaitu "kullu bid'ahtin dhalalah" setiap bid 'ah sesat,lafadZ "kullu" dalam ushul fiqih adalah lafadz umum.

*Lebih jelasnya silahkan anda baca artikel berjudul "Kullu itu semua atau sebagian"

Hal ini juga yang dipahami oleh para sahabat para Imam Madzab dan para ulama bahwa setiap bid'ah dalam urusan syariat adalah tercela.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)



Imam Malik (Grunya Imam Syafi’i) rahimahullah berkata :

"Barangsiapa yang mengada-ngadakan  dalam islam suatu ke bid'ah an dan menganggapnya baik,berarti dia telah menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah telah berfirman : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.”Maka apa yang waktu itu  (Pada masa Rasulullah dan Sahabat) bukan bagian dari agama,maka pada hari ini pun bukan bagian dari agama.” (Lihat Al I’tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)"

Imam Syafi'i berkata,

"Aku berwasiat kepadamu dengan Takwa kepada Allah,konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.Tinggalkan bid'ah (dalam agama) dan hawa nafsu . Bertaqwalah kepada Allah sejauh yang engkau mampu. Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal. 152-154)."



KesimPulannya semua bid'ah dalam syariat adalah sesat,tercela,dan haram.Inilah pendapat yang paling kuat berdasarkan Al-Qur'an,Hadist,dan Ketetapan ulama.


√√Bid ah secara bahasa.


Ibnu Katsir Rahimahullah, seorang ulama ahlu sunnah dan juga seorang ahli tafsir paling terkemuka di dunia, mengatakan : Bahwa bid’ah, ada dua macam. Bid’ah secara syari’at dan bid’ah secara lughowiyah (bahasa).

Beliau berkata : ”Bid’ah ada dua macam, bid’ah syari’at seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguh-nya setiap yang ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” Dan bid’ah lughowiyah (bahasa) seperti perkata’an umar bin Khatab ketika mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih : ”Inilah sebaik-baiknya bid’ah.” [Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adziem 1/223. Cet. Maktabah taufiqiyah, Tahqiq Hani Al Haaj].


Ibnu Hajar Al Asqolani, seorang ulama besar bermadzhab Syafi’iy, Beliau rahimahullah juga menjelaskan : “Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela, berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.” [Lihat Fathul Bari,13:253].


Berbeda dengan bid'ah dari sisi syariat,bid ah dari sisi bahasa ada yang baik.Karena bid'ah secara bahasa mempunyai asal hukum dalam syariat.

Contoh,terkait masalah shalat tarawih yang dikatakan Umar "inilah sebaik baiknya bid'ah"..maksudnya adalah bid'ah secara bahasa karena shalat tarawih ada asal hukumnya dalam hadist,jika dikatakan bid'ah dalam syariat itu salah,karena bid'ah dalam syariat tidak mempunyai asal hukum baik perintah ataupun ketetapannya ,sedang shalat tarawih ada ketetapannya.

Contoh lainnya bid'ah secara bahasa adalah seperti mobil,pesawat,motor,dan teknologi informasi lainnya yang fungsinya sebagai alat untuk menfasilitasi kehidupan manusia.Secara bahasa ini bid'ah yang baik. dan sama sekali bukan termasuk bid''ah dalam syariat.Karena sifatnya adalah untuk menfasilitasi dan sudah ada dalil yang memperbolehkan.

Dalilnya,Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)

Contoh lain bid'ah secara lughawi yang baik

1)Penulisan kitab hadist

 hadist riwayat Abu Hurairah yang menerangkan bahwa ketika kota Mekah telah dikuasai oleh Rasulullah Saw., Beliau berpidato di hadapan para sahabat. Ketika berpidato, tiba-tiba berdiri seseorang yang berasal dari Yaman bernama Abu Syah. Kemudian dia bertanya kepada Rasulullah Saw. ujarnya Ya Rasulullah! Tulislah untukku! Rasulullah menjawab, “ Tulislah oleh kalian untuknya! (Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu Abdil Barr jilid 1 halaman 84)

2)Membangun Masdrasah/sekolah Khusus Untuk Belajar Mengajar

 tempat pendidikan pertama kali dalam sejarah Islam merupakan rumah Darul Arqam bin abi al-Arqam. Karena rumah itulah yang menjadi tempat pertama berkumpulnya Nabi dan para sahabat guna mendiskusikan asas-asas dan dasar agama Islam ketika masih sembunyi-sembunyi. Kemudian setelah itu masjid menjadi lembaga Islam kedua setelah Darul arqam. Masjid dapat dikatakan sebagai madrasah yang berukuran besar yang pada masa permulaan sejarah Islam dan masa-masa selanjutnya adalah merupakan tempat menghimpun kekuatan umat Islam, baik dari segi fisik maupun mentalnya.

Rasulullah membangun ruangan disebelah utara masjid Madinah dan masjid al-Haram yang disebut “ash-Shuffah” untuk tempat tinggal orang-orang fakir miskin yang tekun mempelajari ilmu. Mereka dikenal sebagai “ahlus-suffah”

Fungsi masjid pada waktu itu, diantarannya:

1.    Tempat beribadah atau sembahyang.
2.    Tempat berdiskusi dan melakukan kajian-kajian ke-Islaman
3.    Tempat mengkaji permasalahan da’wah Islamiyah (menegenai siasat dalam menghadapi musuh)

Lembaga pendidikan terus berkembang hingga seperti sekarang ini.

Inilah sebagian contoh bid'ah secara Lughawi yang baik.Apabila ada yang mengatakan ini bid'ah dalam syariat,maka itu keliru,karena kedua hal ini memiliki sumber dalam syariat,dan sekali lagi saya tegaskan berbeda dengan makna Bid'ah dalam syariat yang tidak memiliki sumber hukum yang menjelaskan dan menetapkan.

Adapun bid'ah secara Lughawi yang jelek yaitu seperti faham demokrasi,sekuler,liberal,kapitalisme dan sejenisnya.Hal yang semacam ini memang tidak ada dalam syariat dan syariat pun tidak ada dalam faham faham tersebut.Tetapi secara bahasa ini adalah bid'ah yang jelek.

Jadi kesimpulannya,

Bid'ah dalam syariat adalah semua hal baru yang dimasukan dalam lingkup peribadatan,yang  tidak pernah dijalankan,ditetepkan,dan diperintahkan oleh Rasulullah dan sahabat.Sehingga sama sekali tidak memiliki asal hukum dalam syariat.Contoh tahlilan yasinan,Rebo Wekasan,Maulid dan yang sejenisnya,amaliyah semacam ini tidak ada dalil yang memerintahkan.

Bid'ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat tanpa contoh sebelumnya,Bid'ah dalam pengertian ini dianggap baik jika ada asal hukum dalam syariat.



Barakallah fiikum

Wallahu a'lam bish shawab


Perkataan Umar Bin Khathab "Inilah sebaik-baiknya bid'ah"







Shalat tarawih dengan satu imam,ini memiliki hukum asal dalam syariat,bahwasanya Rasulullah pernah mengerjakan shalat tarawih baik sendirian maupun berjama'ah.

Lalu oleh Umar Bin Khathab sunnah ini di hidupkan kembali,orang-orang yang shalat tarawih di masjid dikumpulkan dalam 1 Imam.Riwayat lengkapnya adalah sebagai berikut :

Dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!”
(Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).

Para Ahlul-bid'ah menyatakan bahwa perkataan Umar dan apa yang beliau lakukan tersebut adalah sebagai dalil bolehnyan membuat bid'ah hasanah (Yang Baik).Padahal ada hadist lain yang menjelaskan hal yang serupa dengan itu.

Dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha bahwa ia menuturkan :

"Dahulu manusia shalat di masjid Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam di malam bulan Ramadhan dengan berpencar-pencar (yakni dengan berimam sendiri-sendiri). Seorang yang banyak hapal Al-Qur'an, mengimami lima sampai enam orang, atau bisa jadi lebih atau kurang. Masing-masing kelompok shalat bersama imamnya. lalu Rasulullah menyuruhku untuk memasang tikar di depan pintu kamarku.

Akupun melakukan perintahnya. Sesuai melakukan shalat 'Isya di akhir waktu, beliau keluar kemuka kamar itu. 'Aisyah melanjutkan ceritanya : Manusia yang kala itu ada di masjidpun lantas berkumpul ke arah beliau. Lalu beliau sholat bersama mereka shalat sepanjang malam. Kemudian orang-orang bubar, dan beliaupun masuk rumah. Beliau membiarkan tikar tersebut dalam keadaan terbentang. Tatkala datang waktu pagi, mereka memperbincangkan shalat yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada pada malam itu (maka berkumpullah manusia lebih banyak lagi) dari sebelumnya. Sehingga akhirnya masjid menjadi bising Pada malam ke dua itu, Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam kembali shalat bersama mereka. Maka di pagi harinya, orang kembali memperbincangkan hal itu, sehingga orang yang berkumpulpun bertambah banyak lagi (pada malam ketiga) sampai masjid menjadi penuh sesak. Rasul-pun keluar dan shalat mengimami mereka. Di malam yang keempat, disaat masjid tak dapat lagi menampung penghuninya ; Rasulullah-pun keluar untuk mengimami mereka shalat 'Isya dipenghujung waktu. Lantas (pada malam itu juga) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumahnya, sedangkan manusia tetap menunggunya di masjid". 'Aisyah lalu menuturkan : "Rasulullah bertanya kepadaku :"Orang-orang itu sedang apa ya 'Aisyah ?" Saya pun menjawab : "Wahai Rasulullah, orang-orang itu sudah mendengar tentang shalatmu tadi malam bersama orang-orang yang ada di masjid ; maka dari itu mereka berbondong memenuhi masjid untuk ikut shalat bersamamu". Lalu 'Aisyah melanjutkan kisahnya : "Beliau lantas memerintahkan :"Tolong lipat kembali tikarmu, wahai 'Aisyah !". Akupun lantas melakukan apa yang beliau perintahkan. Malam itu, beliau berdiam di rumah tanpa tidur sekejappun. Sedangkan orang-orang itu tetap menunggu ditempat mereka. Hingga datang pagi, barulah Rasulullah keluar.

Seusai melaksanakan shalat subuh, beliau menghadap kearah para sahabatnya] dan bersabda :

"Wahai manusia, sungguh demi Allah, aku sama sekali tidak tertidur tadi malam. Akupun tahu apa yang kalian lakukan. Namun (aku tidak keluar untuk shalat bersama kalian) karena aku khawatir shalat itu menjadi (dianggap) wajib atas diri kalian.
Sesungguhnya Allah tak akan bosan, meskipun kamu sendiri sudah bosan". (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343).

 dimana letak bid'ah yang dimaksud Umar Bin Khathab?

Tentu anda akan kebingungan,karena memang tidak ada bid'ah dalam shalat tarawih.Shalat tarawih,baik dengan Imam (berjama'ah) atau sendirian itu pernah di lakukan oleh Rasulullah.Begitu juga mengumpulkan orang-orang yang shalat di masjid yang terpencar-pencar disatukan dengan Satu Imam,berdasarkan Hadist dari Aisyah di atas juga pernah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam.

Pada dasarnya Umar Bin Khathab bukanlah membuat bid'ah.Ucapan Amirul Mukminin Umar Bin Khathab adalah Bid'ah dalam arti secara Bahasa,bukan secara syariat.Karena pada dasarnya bid'ah dalam syariat semuanya tercela.Sedang bid'ah secara bahasa ada yang baik dan ada yang buruk dilihat apakah ada dalil yang menetapkan atau tidak.

Ucapan Umar : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. adalah bid’ah secara LUGHOWI (secara bahasa). Demikan menurut ibnu Rajab. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2:128).

Ibnu Katsir Rahimahullah, seorang ulama ahlu sunnah dan juga seorang ahli tafsir paling terkemuka di dunia, mengatakan : Bahwa bid’ah, ada dua macam. Bid’ah secara syari’at dan bid’ah secara lughowiyah (bahasa).

Beliau berkata : ”Bid’ah ada dua macam, bid’ah syari’at seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguh-nya setiap yang ada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” Dan bid’ah lughowiyah (bahasa) seperti perkata’an umar bin Khatab ketika mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih : ”Inilah sebaik-baiknya bid’ah.” [Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adziem 1/223. Cet. Maktabah taufiqiyah, Tahqiq Hani Al Haaj].

Menurut Ibnu Rajab dan Ibnu Katsir perkata’an Umar bin Khaththab, ”Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. Adalah bid’ah secara LUGHOWI (bahasa), bukan bid”ah secara syari’at. Karena shalat tarawih berjama’ah pernah di lakukan oleh Rosululloh.

Bid’ah (perkara baru) dan tercela, adalah bid’ah dalam urusan Ibadah, yang tidak pernah di lakukan, di perintahkan atau di setujui oleh Rasulullah. Bagaimana shalat terawih mau di katakan bid’ah (perkara baru), Sedangkan shalat tarawih pernah di lakukan oleh Rasulullah.

Bid'ah memang dibagi menjadi 2,Bid'ah secara syariat yang semuanya haram dan bid'ah  secara bahasa.Contohnya dalam urusan duniawi,pesawat,mobil,teknologi,informasi dll itu boleh menggunakan kata bid'ah karena memang tidak ada pada zaman Nabi dan bid'ah semacam itu adalah baik karena selain tidak termasuk dalam urusan syariat,juga ada dalil yang memperbolehkan.


Adapun penggunaan kata bid'ah yang baik secara bahasa dalam syariat seperti ucapan Umar itu juga boleh selama amaliyah tersebut mempunyai asal hukumnya,perintahnya,tata cara pelaksanaan,waktu dan ketetapannya.Jika tidak mempunyai asal hukum,maka tidak boleh dikatakan bid'ah yang baik,melainkan harus di katakan bid'ah yang sesat.

Sedang shalat Tarawih dengan Satu Imam yang dilakukan oleh Umar Bin Khathab baik cara,waktu,dan ketetapannya itu ada dalilnya,karenanya para ulama menafsirkan perkataan  Umar adalah bid'ah secara Bahasa,bukan secara syariat dikarenakan ada dalil yang menjelaskan.

Berbeda dengan tahlilan dan yasinan,ini merupakan bid'ah dalam syariat yang hukumnnya haram.karena tidak memiliki asal hukum,baik dari segi perintahnya,tata caranya,waktu dan pelaksanaannya tidak ada dalil yang menegaskan atau memerintahkan.

Ibnu Hajar Al Asqolani, seorang ulama besar bermadzhab Syafi’iy, Beliau rahimahullah juga menjelaskan : “Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela, berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.” [Lihat Fathul Bari,13:253].

Dan lagi ada perbedaan mencolok antara "Bid'ah" nya Umar Bin Khathab dalam shalat tarawih dengan bid'ahnya ahlul-bid'ah di Indonesia seperti Tahlilan,selametan,dan yasinannya. "Bid'ah" nya Umar sudah dijalankan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam,sedang bid'ahnya ahlul-bid'ah di Indonesia belum pernah dikerjakan oleh seorangpun baik Rasulullah shalallahu alaihi wasalam maupun sahabatnya,bahkan tabi'in pun tidak pernah melakukan hal yang semacam ini.Jadi apa masuk akal 2 hal yang berbeda,shalat tarawih yang sudah ada sejak zaman Rasulullah disamakan dengan acara semacam tahlilan,selamatan dll yang baru muncul beberapa Ratus tahun kemudian diberi hukum yang sama yaitu Bid'ah?


Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang berupa kumpulan fatwa (I : 168) menyatakan :

“Ibnu Abdil Barr berkata : “Dalam hal itu Umar tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum- daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang berupa kumpulan fatwa (I : 168) menyatakan :

“Ibnu Abdil Barr berkata : “Dalam hal itu Umar tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum- daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”



.Para ahlul bid'ah begitu memaksakan penafsiran,seperti tentang 'lafadz "kullu",mereka penafsirkannya dengan berbagai macam gaya,agar sesuai dengan pemikiran mereka.Akan tetapi ketika datang ucapan Umar Bin Khathab "inilah sebaik-baiknya bid'ah..",mereka tidak menafsirkannya dengan gaya mereka seperti ketika menafsirkan "kullu",bahkan mereka menolak jika muncul penafsiran-penafsiran tentang perkataan Umar Bin Khathab tsb,karena sudah sesuai dengan pemikiran mereka.

Barakallah fiikum

Wallahu a'lam bish shawab.

Jumat, 20 Februari 2015

Perkataan Imam Syafi'i,"Bid'ah dibagi menjadi 2..."







Mereka berdalilkan dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah-:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ, فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ

“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/113))

Semakna dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ : مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ, وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ

“Perkara yang baru ada dua bentuk: (Pertama) Apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.

BANTAHAN:

Pertama,

   Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullah- dalam ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 121 mengomentari kedua perkataan Asy-Syafi’i di atas, “Di dalam sanad-sanadnya terdapat rawi-rawi yang majhul (tidak diketahui)”.

Dalam sanad Abu Nu’aim terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Muhammad Al-Athasi. Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad dan As-Sam’ani dalam Al-Ansab menyebutkan biografi orang ini dan keduanya tidak menyebutkan adanya pujian ataupun kritikan terhadapnya sehingga dia dihukumi sebagai rawi yang majhul.

Adapun dalam sanad Al-Baihaqi, ada Muhammad bin Musa bin Al-Fadhl yang tidak didapati biografinya. Ini disebutkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Al-Bida’ wa Atsaruhas Sayyi` alal Ummah hal. 63.

Kedua,

 Andaikan ucapan di atas shahih (benar) datangnya dari Imam Asy-Syafi’i, maka maksud dari perkataan beliau -rahimahullah- [“bid’ah yang terpuji”] adalah bid’ah secara bahasa bukan menurut syar’i. Karena beliau memberikan definisi bid’ah yang terpuji dengan perkataan beliau [“semua yang sesuai dengan sunnah”] dan [“apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut”] sedangkan semua bid’ah dalam syari’at adalah menyelisihi sunnah. Ini disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam (hal. 233).

Ketiga,

Besar kemungkinan ini kesalapahaman orang dalam menafsirkan perkataan Imam syafi'i.Imam syafi'i membagi bid'ah menjadi 2,yang baik dan yang buruk,tapi dalam riwayat lain Imam Syafi'i mencela bid'ah dalam urusan syariat

“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syariat."

di perkuat dengan perkataan Beliau dalam riwayat lain,

"Aku berwasiat kepadamu dengan Takwa kepada Allah,konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.Tinggalkan bid'ah (dalam agama) dan hawa nafsu . Bertaqwalah kepada Allah sejauh yang engkau mampu. Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal. 152-154)."

Menanggapi dua riwayat yang bertentangan itu yang mana Imam syafi'i membagi bid'ah menjadi 2 dan pernyataan beliau yang lain untuk meninggalkan bid'ah dalam agama,maka kita bisa merukunkan 2 pendapat Beliau ini.

Bahwa Bid'ah yang terpuji sebagaimana yang dicontohkan imam syafi'i seperti menulis hadist dan shalat tarawih adalah bid'ah secara bahasa,bukan bid'ah secara syariat karena kedua amalan ini memiliki asal dalam syariat.

Sedang bid'ah yang tercela yaitu amaliyah yang tidak memiliki asal dalam syariat,semisal yang terjadi di Indonesia yaitu memperingati 7,10,100 hari kematian seseorang,dan Rebo Wekasan.Ini tidak memiliki asal dalam syariat,dan inilah bid'ah yang tercela.


Barakallah fiikum

Wallahu a'lam bish shawab.

Rabu, 18 Februari 2015

Pembagian Bid'ah yang Tepat-Sanggahan Atas Pembagian Bid'ah Menjadi 5-









Sebagian ulama berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima sebagai berikut:

1. Bid’ah Wajibah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil diwajibkannya sesuatu dalam syariat. Contohnya pembukuan Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dikhawatirkan keduanya akan tersia-siakan. Berhubung menyampaikan risalah Islam kepada generasi berikutnya adalah suatu kewajiban menurut ijma’, dan mengabaikan hal ini hukumnya haram menurut ijma’, karenanya hal-hal seperti ini mestinya tidak perlu diperselisihkan lagi bahwa hukumnya wajib.

2.Bid’ah Muharramah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil diharamkannya sesuatu dalam syariat. Contohnya berbagai bentuk pajak dan upeti, demikian pula setiap bentuk kezhaliman yang bertentangan dengan norma-norma agama, seperti penyerahan jabatan secara turun temurun kepada orang yang bukan ahlinya (nepotisme).

3.Bid’ah Mandubah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dianjurkannya sesuatu dalam syari’at. Contohnya shalat tarawih berjama’ah.

4. Bid’ah Makruhah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dimakruhkannya sesuatu dalam syari’at. Contohnya mengkhususkan beberapa hari yang dimuliakan dengan jenis ibadah tertentu, seperti larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa hari Jum’at secara khusus, atau qiyamullail pada malamnya; demikian pula menambah bilangan tertentu dalam wirid dengan sengaja, seperti menjadikan tasbih, tahmid dan takbir selepas shalat menjadi masing-masing 100 kali, dan semisalnya.

5.Bid’ah Mubahah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dibolehkannya sesuatu dalam syari’at. Seperti menggunakan ayakan (penapis) gandum sebagai usaha memperbaiki taraf hidup, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah atsar bahwa hal pertama yang diada-adakan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah menggunakan ayakan gandum. Hal ini dibolehkan karena ia merupakan sarana untuk memperbaiki taraf hidup yang hukumnya boleh.

(Pembagian ini diringkas dari kitab Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, Al Farqu 252; tulisan Al Qarafy (w. 684 H). Beliau mengadopsi pemikiran ini dari gurunya, yaitu ‘Izzuddien bin Abdissalam (w. 660 H); dan orang inilah yang pertama kali mencetuskan pembagian bid’ah menjadi lima. Pendapat ini kemudian diikuti pula oleh sebagian ulama mutaakhkhirin seperti Jalaluddien As Suyuthi (w. 911 H). Novel Alaydrus juga berdalil dengan pembagian ini dengan contoh-contoh yang sedikit berbeda (Mana Dalilnya 1, hal 28-31).

Sanggahan

Pendapat Pertama,Setiap pembagian Bid'ah secara syariat dicela oleh ulama.

Jelas sekali bahwa pembagian bid’ah menjadi lima tadi adalah pendapat segelintir ulama yang baru muncul sekian abad setelah generasi sahabat, karenanya ia tidak menjadi hujjah.

Berdasarkan ijma ulama

√tidak ada seorang pun setelah para sahabat yang pendapatnya menjadi hujjah dalam masalah agama.(Lihat Al Ihkam, oleh Al Aamidy 4/152 dan Al Ihkam, oleh Ibnu Hazm 2/233)

√√Adapun para sahabat, maka pendapat mereka masih diperselisihkan apakah cukup kuat untuk dijadikan hujjah ataukah tidak. Sedangkan pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini ialah bahwa pendapat sahabat adalah hujjah dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu. (Lebih jelasnya silakan merujuk ke pembahasan mengenai ‘Qoulus Shahaby’ dalam kitab-kitab usul fiqh, seperti Mudzakkirah Usulil Fiqh karya Al ‘Allamah Muhammad Al Amien Asy Syinqithy)

Imam Syafi’i mengatakan,

أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ .( إعلام الموقعين عن رب العالمين 2/ 421)

"Semua orang (ulama) sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh baginya meninggalkan sunnah tersebut karena pendapat siapa pun (I’lamul Muwaqqi’ien 2/421)".


pendapat tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang mencela setiap bentuk bid’ah dalam syariat (Silahkan anda baca artikel di situs ini yang berjudul "Hati-Hati dengan Bid'an,kelihatannya Indah Tetapi Menyesetkan" yang berisi dalil-dalil yang mencela bid'ah dalam syariat)

Disamping itu, pembagian bid’ah menjadi lima tersebut saling bertolak belakang, yang menunjukkan akan batilnya pembagian tersebut.

Imam Asy Syathiby mengatakan, “Bagaimana mungkin sesuatu yang sesuai dengan dalil syar’i dinamakan bid’ah, sedangkan di antara hakikat bid’ah itu sendiri ialah: sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil syar’i maupun kaidah-kaidahnya? Sebab jika di sana ada kaidah atau dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah mubah, atau mandub (dianjurkan), atau wajib; niscaya tidak akan pernah ada bid’ah dalam agama. Oleh karena itu, pendapat yang di satu sisi mengatakan bahwa hal tersebut merupakan bid’ah, lalu secara bersamaan mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i mengarah kepadanya; adalah pendapat yang menggabungkan antara dua hal yang saling bertolak belakang”.(kitab Al I’tisham)

Imam asy-Syaukani dalam penjelasan beliau mengenai hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang maknanya: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami yang bukan dari padanya, maka hal itu tertolak” (muttafaq alaih); beliau mengatakan:

“Hadits ini merupakan salah satu pondasi agama, karena tak terhingga banyaknya hukum yang masuk ke dalamnya. Alangkah jelasnya dalil ini sebagai pembatal bagi apa yang dilakukan sebagian fuqaha’ ketika membagi bid’ah menjadi macam-macam. Atau ketika mereka mengkhususkan jenis bid’ah tertentu yang tertolak, tanpa bersandar pada dalil baik secara logika maupun riwayat. Karenanya, ketika mendengar ada orang mengatakan: “Ini bid’ah hasanah”, wajib bagi anda untuk menolaknya; yaitu dengan bersandar pada keumuman hadits ini dan hadits-hadits senada seperti: “Kullu bid’atin dholalah”. Anda harus menanyakan dalil mana yang mengkhususkan bid’ah-bid’ah lain yang masih diperdebatkan, setelah disepakati bahwa hal itu merupakan bid’ah? Kalau ia bisa mendatangkan dalilnya, kita akan terima. Namun jika tak mampu, maka anda telah membungkamnya seribu bahasa, dan tak perlu melanjutkan perdebatan” (Nailul Authar, 1/66 cet. Daarul Fikr)

Pendapat Kedua menyatakan bahwa pembagian bid'ah menjadi 5 bukanlah pembagian bid'ah dari sisi syariat.

Ada juga yang berpendapat bahwa maksud Izzuddien bin Abdissalam (w. 660 H) pembagian bid'ah menjadi 5 adalah bid'ah secara bahasa bukan secara syariat,

Jika kita perhatikan perkataan Al-'Iz bin Abdissalam secara lengkap dengan memperhatikan contoh-contoh penerapan dari pengklasifikasiannya terhadap bid'ah maka sangatlah jelas maksud beliau adalah pengklasifikasian bid'ah menurut bahasa, karena contoh-contoh yang beliau sebutkan dalam bid'ah yang wajib maka contoh-contoh tersebut adalah perkara-perkara yang termasuk dalam al-maslahah al-mursalah (yaitu perkara-perkara yang beliau contohkan yang berkaitan dengan bid'ah wajib) bahkan beliau dengan jelas menyatakan bahwa syari'at tidak mungkin dijalankan kecuali dengan bid'ah yang wajib tersebut.

As-Syathibi berkata "Sesungguhnya Ibnu Abdissalam yang nampak darinya ia menamakan maslahah mursalah dengan bid'ah karena perkara-perkara maslahah mursalah secara dzatnya tidak terdapat dalam nas-nas yang khusus tentang dzat-dzat mashlahah mursalah tersebut meskipun sesuai dengan kaidah-kaidah syari'at…dan ia termasuk para ulama yang berpendapat dengan mashlahah mursalah, hanya saja ia menamakannya bid'ah sebagaimana Umar menamakan sholat tarawih bid'ah" (Al-I'tishom 1/192)

Sedang contoh bid'ah mustahab (hasanah) yang disampaikan oleh beliau diantaranya : pembangunan sekolah-sekolah merupakan sarana untuk menuntut ilmu, dan pembicaraan tentang pelik-pelik tasawwuf yang terpuji adalah termasuk bab mau'izhoh (nasehat) yang telah dikenal.

beliau sama sekali tidak menyebutkan bid'ah-bid'ah yang dikerjakan oleh para pelaku bid'ah sebagai contoh (Seperti sholat rogoib, maulid Nabi, peringatan isroo mi'rooj, tahlilan, dan lain-lain) dengan dalih bahwa bid'ah tersebut adalah bid'ah hasanah, bahkan beliau dikenal dengan seorang yang memerangi bid'ah.



Berkata Abu Syamah salah satu Murid Beliau ,"




Beliau (Al-'Iz bin Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan banyak bid'ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat nishfu sya'ban dan melarang kedua sholat tersebut" (Tobaqoot Asy-Syafi'iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-'Iz bin Abdissalam)


Dalam memahami Pembagian bid'ah menjadi 5 ternyata banyak kesalahpahaman,akan tetapi yang jelas adalah bahwa pembagian bid'ah menjd 5 bukanlah landasan untuk kita bolehnya membuat syariat,jadi merupakan perbuatan tercela membagi bagi bid'ah dalam urusan syariat karena setiap bid'ah dalam urusan syariat pada dasarnya adalah  haram dan sesat.

Lain halnya apabila pembagian tersebut adalah bid'ah secara bahasa,karena bid'ah secara bahasa mempunyai asal hukum.

Berkata Ibnu Rajab,"

bid'ah yang tercela adalah perkara yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam syari'ah yang bisa dijadikan landasan, dan inilah bid'ah yang dimaksudkan dalam definisi syar'i (terminology). Adapun bid'ah yang terpuji adalah perkara-perkara yang sesuai dengan sunnah yaitu yang ada dasarnya dari sunnah yang bisa dijadikan landasan dan ini adalah definisi bid'ah menurut bahasa bukan secara terminology karena ia sesuai dengan sunnah" (Jami'ul 'Ulum wal Hikam 267)

*Mungkin anda akan bingung memahami bid'ah secara syariat dan bid'ah secara bahasa,silahkan anda baca artikel di situs ini yang berjudul "Memahami Makna Bid'ah dari sisi Syariat dan Bahasa (lughowi)"

PEMBAGIAN BID'AH YANG TEPAT

Tetap berpatok pada landasan bahwa semua bid'ah dalam syariat adalah sesat.. pembagian ini  berdasarkan fakta yang terjadi di masyarakat dan apa yang dilakukan masyarakat ahlul bid'ah dengan tujuan agar mudah di identifikasi dan dipahami sehingga kita tidak mudah terjerumus dalam bid'ah tersebut.


Ditinjau dari hubungannya dengan syari’at, bid’ah yang terjadi dan menyebar di tengah masyarakat terbagi menjadi dua:

    Bid’ah Haqiqiyyah.
    Bid’ah Idhafiyyah.

Dalam kitabnya yang sangat monumental, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah haqiqiyyah sebagai berikut:

Bid’ah haqiqiyyah ialah bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya sama sekali. Baik dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun istidlal yang mu’tabar menurut para ulama. Ia sama sekali tak memiliki dalil baik secara umum maupun terperinci, karenanya ia dinamakan bid’ah berangkat dari hakekatnya yang memang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.

Contoh bid’ah haqiqiyyah yang akrab dengan masyarakat Indonesia misalnya: puasa mutih, puasa pati geni, padusan (mandi) menjelang datangnya bulan Ramadhan.peringatan bagi orang yang telah meninggal; 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya

Sedangkan bid’ah idhafiyyah menurut Imam Asy Syathiby definisinya ialah:


Bid’ah Idhafiyyah: ialah bid’ah yang mengandung dua unsur. Salah satunya memiliki kaitan dengan dalil syar’i, sehingga dari sisi ini ia tidak termasuk bid’ah. Sedang unsur kedua tidak ada kaitannya, namun persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Jadi beda antara kedua bid’ah tadi dari segi maknanya ialah: bahwa (bid’ah idhafiyyah) asal-usulnya merupakan sesuatu yang dianjurkan menurut dalil syar’i; akan tetapi dari segi cara pelaksanaan, keadaan, dan detail-detailnya tidak bersandarkan pada dalil. Padahal hal-hal semacam ini amat membutuhkan dalil, karena sebagian besar berkaitan dengan praktik ibadah dan bukan sekedar adat kebiasaan (Mukhtasar Al I’tisham, hal 71).

Contoh kongkrit dari bid’ah idhafiyyah terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Tapi yang paling akrab dengan masyarakat Indonesia seperti yasinan, tahlilan, shalawatan, membaca wirid bersama selepas shalat dengan dikomandoi oleh Imam, membaca shalawat sebelum adzan dan iqamah, mengkhususkan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan ibadah tertentu, maulidan dan lain sebagainya. Bahkan sebagian besar bid’ah yang kita jumpai saat ini rata-rata termasuk bid’ah idhafiyyah. Meski demikian, bahaya yang ditimbulkannya tidak lebih kecil dari bid’ah haqiqiyyah; bahkan lebih besar, mengapa? Karena sepintas ia merupakan taqarrub kepada Allah, hingga banyak orang tertipu dengan ‘penampilan luarnya’, padahal sesungguhnya itu merupakan bid’ah yang dibenci syari’at.

Pembagian bid’ah lainnya yang menyebar di tengah masyarakat  Ditinjau dari kadar bahayanya, bid’ah juga terbagi menjadi dua:

    Bid’ah Mukaffirah.
    Bid’ah Ghairu Mukaffirah.

Bid’ah mukaffirah ialah setiap bid’ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, keluar dari Islam. Bid’ah ini biasanya berkaitan dengan keyakinan; seperti

Pertama,Bid'ahnya Orang Jahmiyyah Yaitu suatu aliran sesat yang dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan, pendirinya. Mereka mengingkari semua sifat Allah dengan dalih ingin menyucikan dzat Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Akhirnya mereka justeru terjerumus dalam kesesatan yang lebih fatal lagi, karena dengan begitu mereka justeru menyerupakan Allah dengan sesuatu yang tidak ada. Karena segala sesuatu yang ada pasti memiliki sifat tertentu, apa pun wujudnya. Sehingga bila sifat-sifat tersebut dinafikan maka sama dengan menafikan keberadaannya.

Kedua,bid’ahnya Syi’ah Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariah Yaitu firqah syi’ah terbesar saat ini, yang meyakini bahwa mereka memiliki dua belas Imam yang ma’shum, yang mengetahui apa yang terdapat pada lauhul mahfuzh, mereka bisa mati sekehendak mereka, dan senantiasa mengatur alam semesta. Mereka mengkafirkan seluruh sahabat Nabi, kecuali empat atau maksimal enam orang, yaitu: Ali bin Abi Thalib, Al Hasan, Al Husein, Salman Al Farisi, Abu Dzar dan Miqdad ibnul Aswad.

Ketiga,Bid'ahnya orang Qadariyyah Yang dicetuskan oleh Ma’bad Al Juhani dari Irak pada zaman tabi’in. Ia mengatakan bahwa manusia berbuat sesuai dengan kehendaknya dan terlepas dari takdir Allah. Artinya semua perbuatan manusia terjadi tanpa ketentuan terlebih dahulu dari Allah. Sehingga dengan demikian mereka telah mengingkari salah satu rukun iman yang enam, yaitu iman kepada takdir.

Sedangkan bid’ah ghairu mukaffirah, ialah bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir, akan tetapi terhitung berdosa. Dan tentunya dosa satu bid’ah tidak sama dengan dosa bid’ah lainnya, akan tetapi tergantung dari bentuk bid’ah itu sendiri dan keadaan pelakunya. Namun bagaimanapun juga bid’ahnya tetap tertolak, meski orang tersebut melakukannya dengan ikhlas dan berangkat dari kejahilan.


*Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id

"Kullu" Itu Semua atau Sebagian?




Dalam sebuah hadist,

Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda,"

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578

Para Ahlul-Bid'ah berpendapat bahwa arti lafadZ "kullu" itu tidak semua alias bukan lafadZ umum,melainkan hanya sebagian saja.

Berikut hujjah para ahlul bid'ah yang menyatakan "kullu" berarti tidak semua dan bantahannya..

1)Imam An Nawawi ~rahimahullah mengatakan

قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .

“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

BANTAHAN :

Ini namanya senjata makan tuan,ahlul bid'ah mengkutip pendapat Imam Nawawi yang  ,mengatakan bahwa kullu bid'ah adalah Amm Maskhsush,KATA KATA UMUM...bukannya kalau kullu itu maknanya umum berarti mencakup keseluruhan, dan tidak ada pengkhususan/pengecualian?

Lalu selanjutnya Imam Nawawi mengatakan,'...yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya,"

Ini memang benar,Bid'ah memang dibatasi,yaitu HANYA DALAM PEKARA SYARIAT SAJA..! SEMUA BID'AH DALAM PEKARA SYARIAT ITU SESAT DAN HARAM Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam,"

"Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama -ed) Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad no 17184, Abu Dawud hadits No. 4609, Ibnu Majah hadits no. 42, at-Tirmidzi hadits no. 2676, beliau mengatakan Hasan Shahih)

 Dalam hadist lain,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

 مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam  urusan kami, apa-apa yang tidak ada darinya maka tertolak.” (HR. Bukhari no 2697 dan Muslim 1718 dari ‘Aisyah)

Sedang BID'AH YANG BOLEH HANYA DALAM URUSAN DUNIA,yang bersifat kebendaan,teknologi dan informasi termasuk fasilitas-fasilitas sebagai penunjang kehidupan dan penunjang ibadah manusia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)

2)Allah ta’ala berfirman ;

“وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ”

“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”. (Al Anbiyya, 30).


Para ahlul bid'ah mengatakan,"bukannya,jin,malaikat,dan iblis tidak diciptakan dari air,melainkan dari api dan cahaya?berarti kullu itu tidak mesti semua,bisa juga sebagian"

BANTAHAN:

Supaya tidak salah memahami ayat, Perhatikan detail ayatnya :

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman ?”. (Al Anbiyya, 30).

Ahlul-bid'ah hanya mengambil potongan ayat saja,untuk mengelabuhi orang-orang awam..

Ayat itu berbicara tentang kebesaran Allah dan menjabarkan bagaimana dahulunya langit dan Bumi itu bersatu kemudian di pisahkan keduanya dan air itu merupakan sumber kehidupan bagi yang hidup di bumi.

Sebagai bukti bahwa ayat dalam surat al Anbiyya ayat 30 itu sedang berbicara tentang bumi, maka bisa dilihat juga pada ayat berikutnya :

Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk. (QS al An-Biyya : 31).

Ayat tersebut sedang membicarakan tentang pencipta’an langit dan bumi, dan lebih khusus tentang bumi dan makhluk yang hidup di dalamnya.

Memang benar malaikat, jin, iblis dan syetan juga ada di bumi, tapi mereka tidak termasuk penghuni bumi, mereka bukan makhluk nyata di alam bumi, mereka pun tidak hidup sebagaimana yang mendiami bumi ini pada umumnya.

Semua tahu bahwa malaikat, jin, iblis dan syetan adalah makhluk ghoib, bukan makhluk yang nyata tinggal di bumi.

Adapun ayat 30, dalam surat Al Anbiyya tersebut sedang berbicara pencipta’an langit dan bumi dan penghuninya yang semuanya adalah makhluk dhohir, makhluk nyata di bumi.

SEMUA DALIL YANG MENYATAKAN "KULLU" itu sebagian adalah lemah dan rancu.Apabila tetap dipaksakan dimasukkan dalam hadist pun akan merubah kontesk hadist Rasulullah,

"Setiap (kullu) bid'ah sesat,dan setiap (kullu) kesesatan tempatnya di neraka"

Ahlul bid'ah tidak memahami bahwa lafadz "kullu" dalam hadist diatas,dalam 1 hadist ada 2 konteks yaitu "kullu bid'ahtin (setiap bid'ah)"dan "kullu dholalah"(setiap kesesatan).

Apabila kullu diartikan tidak semua,berarti "tidak semua bid'ah sesat dan tidak semua kesesatan di neraka"!??....Memang ada kesesatan di surga??

Ahlul bid'ah jika hanya menafsirkan kullu hanya dalam konteks "kullu bid'ahtin" saja sedang "kullu dholalah"nya dibiarkan seperti adanya padahal kalimat tersebut ada dalam satu hadist dan dalam riwayat yang sama,itu merupakan penafsiran yang dipaksakan.

DALIL LAFADZ "KULLU"  ADALAH SECARA UMUM DAN MENCAKUP SEMUA

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya Dari Abu Qotadah Bahwa Imron bin Hushain berkata..

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda..
الحياء خير كله أو قال الحياء كله خير
"Malu itu baik semuanya (kulluh)" Atau beliau bersabda, "Malu semuanya (kulluh) baik."
Lalu Busyair bin Ka'ab berkata, "Sesungguhnya kami mendapati pada sebagian buku atau hikmah..Bahwa malu ada yang merupakan ketenangan dan ketundukan kepada Allah Dan ada yang merupakan kelemahan."..Imran pun marah hingga merah kedua matanya.. Ia berkata, "Kenapa aku sampaikan hadits dari Rasulullah.. Lalu kamu tentang dengan yang ada pada sebagian buku."

Begitu marahnya Imron Bin Hushain ketika Busyair bin Ka'ab berpendapat bahwa "kulluh" tidak berarti semua dengan membandingkan hadist Rasulullah dengan kitab.Imron bin Hushain memahami bahwa kulluh dalam hadist Rasulullah mencakup semua.Buka lah kitab kitab ushul fiqih bab lafadz-lafadz yang umum.Semua ulama ushul memasukkan kata kullu dalam lafadz yang umum.Tidak boleh dikhususkan kecuali dengan dalil..

Sebagaimana firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْت
ِ
 " Setiap yang bernyawa akan merasakan mati." [Qs.Al-imran:185]

Apakah anda mau mengatakan "tidak semua" makhluk hidup mati?

Begitu juga dengan arti kullu dalam hadist Rasulullah shalallahu alaihi wasalam,"kullu bid'ahtin dholalah",bukankah para sahabat Nabi itu orang arab  dan mereka mengerti bahasa arab? para sahabat memahami maksud "kullu"dalam hadist Rasulullah adalah "Semua"


Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua (kullu) bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu berkata


,كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)



Barakallahu fiikum

Wallahu a'lam bish Shawab..

Selasa, 17 Februari 2015

6 Hadist Shahih yang Dijadikan Dalil Bid'ah Hasanah








Berikut 6 Hadist shahih yang digunakan oleh ahlul bid'ah untuk berhujah :

PERTAMA :"Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bertanya pada Bilal setelah salat Subuh: Wahai Bilal, ceritakan pada saya amal apa yang paling kamu harapkan yang telah kau kerjakan dalam Islam. Sebab saya mendengar langkah sandalmu di hadapan saya di surga. Bilal menjawa: Tidak ada amal yang paling saya harapkan selain saya tidak pernah bersuci baik siang atau malam kecuali saya salat (sunah) sesuai yang dicatat pada saya"  (HR al-Bukhari No 1081)

KEDUA :Ada seorang sahabat bernama Kaltsul bin Hadm yang setiap salat membaca surat al-Ikhlas. Rasulullah Saw bertanya :م"Apa yang membuatmu terus-menerus membaca surat al-Ikhlas ini setiap rakaat?". Kaltsul bin Hadm menjawab: "Saya senang dengan al-Ikhlas". Rasulullah bersabda: "Kesenanganmu pada surat itu memasukkanmu ke dalam surga" (HR al-Bukhari No 774)


KETIGA :"Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar: Ketika kami salat bersama Rasulullah Saw, tiba-tiba ada seseorang yang membaca: Allahu Akbar kabira….. (Selesai salat) Rasulullah bertanya: Siapa yang membaca tadi? Kemudian ia berkata: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Nabi bersabda: Saya kagum, dengan bacaan itu pintu-pintu langit dibuka. Ibnu Umar berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya sejak mendengar Rasulullah bersabda seperti itu" (HR Muslim no 943)

KEEMPAT :"Diriwayatkan dari Rifa'ah: Kami salat di belakang Rasulullah Saw, ketika beliau bangun dari Ruku' membaca "Sami'a Allahu li man hamidahu", ada seorang laki-laki membaca: "Rabbana wa laka al-hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi". Setelah selesai, Rasulullah bertanya: Siapa yang membaca tadi? Ia menjawab: Saya. Rasulullah Saw bersabda: Saya melihat 30 malaikat lebih yang yang bergegas mencatat lebih dahulu" (HR al-Bukhari No 757)


KELIMA"Para sahabat bercerita bahwa jika seseorang datang (terlambat dalam rakaat salat) maka ia bertanya (kepada jamaah lain) kemudian ia diberi tahu tentang jumlah rakaat yang terlewati baginya (maka ia segera menyusul). Sehingga Mu'adz datang, ia berkata: Saya tidak seperti itu sama sekali, selain saya menyesuaikan dengan salat yang posisi saya terlambat (setelah imam selesai, maka makmum menambah rakaat). Kemudian Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Muadz telah mengajarkan salat bagi kalian" (HR Ahmad dan Thabrani, para perawinya terpercaya)

KEENAM :Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri bahwa sekelompok sahabat Nabi Saw mendatangi kabilah Arab namun mereka tidak menghormatinya. Saat itu tiba-tiba pimpinan mereka tersengat binatang. Mereka bertanya: Apakah diantara kalian ada bisa mengobati / ruqyah? Para sahabat menjawab: Kalian tidak memberi jamuan pada kami dan kami tidak mau mengobatinya kecuali kalian memberi upah kambing pada kami. Kemudian Abu Said membaca al-Fatihah dan mengumpulkan ludahnya dan meniupkannya. Kemudian pimpinannya sembuh. Mereka memperi  beberapa kambing. Namun para sahabat berkata: Kami tidak akan mengambilnya hingga kami bertanya kepada Nabi Saw. Kemudian Nabi tersenyum, dan beliau berkata: Darimana kamu tahu bahwasannya al-Fatihah adalah Ruqyah? Ambillah kambing itu dan beri;lah saya bagian" (HR al-Bukhari N0 5295)

Ada 2 poin yang perlu kita ketahui dari hadist-hadist tersebut

Poin 1 : Amaliyah tersebut atas inisiatif sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sendiri

Poin 2 :Peristiwa peristiwa tersebut terjadi saat Rasulullah masih hidup,sehingga Rasulullah memberi putusan kepada sahabat Beliau terhadap apa yang mereka lakukan.

Untuk lebih memahami lagi, saya ajak anda untuk memahami secara istilah apa itu sunnah dan apa itu bid'ah..

Secara istilah sunnah adalah jalan yang di tempuh oleh rasulullah dan para sahabatnya, baik ilmu, keyakinan, ucapan, perbuatan, maupun penetapan.

Sedang bid'ah,Bid‘ah dalam agama Islam berarti sebuah peribadahan yang tidak pernah diperintahkan ataupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad atau dikerjakan oleh para sahabat, tetapi banyak dilakukan oleh umatnya.

Jika kita kembalikan ke konteks 6 hadist diatas yang di jadikan dalil bid'ah hasanah oleh para ahli bid'ah setelah kita memahami secara istilah apa itu sunnah dan apa itu bid'ah,maka dapat kita hipotesiskan bahwa amaliyah yang di lakukan oleh para sahabat seperti yang di jelaskan 6 hadist di atas termasuk sunnah,bukan bid'ah.Disebabkan adanya ketetapan dan keputusan oleh Rasulullah terhadap apa yang di kerjakan oleh para sahabat.

Ada 3 macam sunnah yang harus diketahui oleh setiap umat islam,ini merupakan pengetahuan dasar

Pertama,Sunnah Qauliyah adalah perkataan atau ucapan-ucapan Nabi Salallahu Alaihi Wasalam yang berhubungan dengan syariat Islam

Kedua,Sunnah Fi'liyah adalah amal perbuatan Nabi Salallahu Alaihi Wasalam yang berhubungan dengan syariat Islam yang disaksikan oleh para sahabat,lalu olehara sahabat disampaikan kepada orang lain.

Ketiga,Sunnah Taqririyah adalah penetapan atau persetujuan Nabi Salallahu Alaihi Wasalam terhadap suatu amal perbuatan seseorang sahabat yang berhubungan dengan syara, yang dilakukan dihadapan atau dilaporkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasalam, sedangkan Nabi Salallahu Alaihi Wasalam tidak melarang atau menyalahkannya.

Kesimpulannya,amaliyah para sahabat Rasululullah sekali lagi saya tegaskan bukanlah bid:ah.Memang amaliyah tersebut muncul atas dasar inisiatif para sahabat Rasulullah sendiri,akan tetapi Rasulullah ada pada saat itu,dan memberi putusan terhadap apa mereka kerjakan.Sehingga dapat kita kategorikan bahwa hal tersebut termasuk sunnah,yang menurut macamnya merupakan sunnah Taqririyah yaitu amaliyah para sahabat yang diperlihatkan dan dilaporkan kepada Rasulullah sedang Rasulullah tidak melarang bahkan membenarkan/menyetujui.

Penjelasan ini berlaku juga untuk hadist lain yang sejenis dengan 6 hadist yang aaya sebutkan di atas,


Barakallah fiikum

Wallahu a'lam bish shawab.


Akibat Berbuat Bid'ah







1. Amal bid’ah yang dilakukan itu tidak mendapat pahala, bahkan mendapatkan dosa.

Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah  bersabda:
“Barangsiapa yang membuat perkara baru di dalam urusan kami ini (agama) yang tidak ada asalnya darinya maka amalannya tertolak.” [HR Al Bukhari (2697) dan Muslim (1718)]

2. Pelakunya terjatuh ke dalam kesesatan karena bid’ah adalah sesat.

Dalilnya adalah hadits Al Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah   bersabda:

“Jauhilah segala perkara baru (di dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru di dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [HR Abu Daud (4607). Hadits shahih]

3. Pelaku bid’ah tidak diterima taubatnya sampai dia meninggalkan bid’ahnya.

Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” [HR Ath Thabrani. Lihat At Targhib wat Tarhib. Sanadnya hasan]

4. Pada hari kiamat kelak tidak akan bisa melewati telaga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal dengan sekali meminum air di telaga tersebut maka orang yang meminumnya tidak akan haus lagi selamanya.

Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah   bersabda:

“Saya adalah pendahulu kalian di telaga (Al Haudh, pada hari kiamat). Siapa yang melewatinya akan meminum airnya. Barangsiapa yang meminum airnya maka dia tidak akan haus lagi selamanya. Sungguh akan melewatiku suatu kaum yang aku mengenal mereka dan mereka mengenalku. Kemudian aku dan mereka dipisahkan. Nabi berkata: “Sesungguhnya mereka adalah bagian dariku.” Lalu ada yang menjawab: “Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak mengetahui perubahan (di dalam agama) yang mereka lakukan.” Maka aku berkata: “Betapa jauhnya (dariku) orang yang mengubah (agama) setelah kematianku.” [HR Al Bukhari (7050) dan Muslim (2291)]

5. Pelaku bid’ah seolah-olah dan secara tidak langsung menuduh Nabi Muhammad  tidak amanah dalam menyampaikan agama ini dan telah berkhianat dari sisi mereka menganggap beliau tidak menyampaikan seluruh ajaran agama Islam kepada umat.

Imam Malik rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang melakukan bid’ah di dalam Islam yang dianggapnya baik (hasanah), maka sungguh dia telah menganggap (Nabi) Muhammad telah mengkhianati risalah (kenabian) karena Allah ta’ala berfirman: “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian untuk kalian.” [QS Al Maidah: 3]. Perkara apa saja yang pada masa itu (masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup) bukan dianggap agama, maka pada hari ini pun bukan dianggap sebagai agama.”

6. Termasuk orang terlaknat.

Nabi sholallohu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara yang baru (bid’ah) atau mendukung pelaku bid’ah maka akan mendapatkan laknat Allah, para malaikat dan manusia semuanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

7.. Pelaku bid’ah tidakmudah melakukan taubat.

Nabi sholallohu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya Allah mencegah pelaku bid’ah melakukan taubat.” (HR. Thobrony, Baihaqi).

Hal ini dikarenaka pelaku bid’ah tidak sadar bahwa dirinya telah berbuat dosa dengan perbuatan bid’ahnya bahkan menyangka telah berbuat amal yang saleh, maka menjadi terbaliklah baginya antara yang benar dan yang salah.

Barakallah fiikum

Wallahu a'lam bish shawab..

Minggu, 15 Februari 2015

Hati - Hati dengan Bid'ah,Kelihatannya Indah tapi Menyesatkan!





Bid'ah,permasalahan yang tidak pernah selesai dibahas.Insyaallah ini merupakan sunnatullah.Sebenarnya batas antara sunnah dan bid'ah itu sangatlah tipis.Orang yang sudah menanamkan dalam pikirannya bahwa tidak ada bid'ah hasanah alias semua bid ah adalah sesat,maka insyaallah walaupun pemikirannya diserang dengan berbagai macam hal ia akan tetap pada pendiriannya,Begitu juga sebaliknya,seseorang yang sudah menanamkan dalam pikirannya bahwa ada bid'ah hasanah alias tidak semua bid ah sesat dalam pekara syariat walaupun ia diserang dengan berbagai macam dalil maka insyaallah dia akan tetap pada pendiriannya,ini memang hal yang sulit untuk di rubah.

Jadi kesimpulannya,permasalahan sunnah dan bid'ah ini adalah masalah hidayah yang merupakan hak progesif Allah Ta'ala.Kita yang hanya seorang manusia tidak punya wewenang untuk memberi hidayah tanpa izin dan kehendak Allah Ta'ala.Jadi,buat apa kita ngotot hingga keluar otot membahas permasalahan sunnah wa bid'ah ini?Sampaikan saja apan yang anda ketahui,tidak usah terbawa nafsu ingin mengalahkan dan menyudutkan lawan,karena ini bukan ajang tinju..

Sampaikan dengan perkataan yang paling baik dan paling lembut sebisa yang kita lakukan (tapi harus tetap tegas)sehingga kita tetap bisa beramal ma'ruf dan nahi munkar tanpa merusak ukhuwah islamiyah.

Alhamdulillah,kali ini saya diberi  kesempatan oleh Allah Ta'ala untuk berbagi ilmu dan pengetahuan tentang sunnah wa bid'ah kepada saudara/i sekalian.Saya berbicara lewat tulisan ini di hadapan anda sekalian bukan karena mewakili manhaj atau kelompok tertentu.Saya bicara di hadapan anda lewat tulisan ini sebagai Umat Islam,sama seperti saudara.

Ini bukan persoalan siapa yang benar  dan siapa yang salah,tetapi kita disini berbagi ilmu dan petunjuk insyaallah,untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.Karena itu mari kita letakkan sifat ujub dan ghuluw dalam mencintai jama'ah sendiri,dan berfikir netral bahwa kita membahas persoalan ini dengan bismillah dan mengharap hidayah dari Allah.

Barakallah fiikum,

MENGAPA AMALAN ITU DIKATAKAN BID'AH?

"Masa baca Al-Qur'an bid'ah,masa dzikir bid'ah,masa shalawatan bid'ah"

Insyaallah inillah 'keluhan'dari para ahli bid ah hasanah ketika amalannya dikatakan bid'ah.

Alahkah baiknya jika sebelum kita masuk pada pembahasan inti,kita berikan pemahaman dasar agar tidak terjadi kesalahpahaman.Ini penting sekali,supaya kita saling mengerti dan paham,sehingga diskusi pun bisa berjalan dengan baik dan tidak berputar putar di situ situ saja.

Ciri yang membedakan amalan sunnah dengan amalan bid ah sangat nampak sekali yaitu Amalan itu tidak di tetapkan,diajarkan,dan di jalankan oleh Rasulullah dan sahabat beliau yang mulia.Jadi amalan bid ah itu tidak ada contohnya dari generasi awal islam alias murni kreasi sendiri.Tidak ada dalilnya dalam hadist shahih,dasar hukumnya hanya dari akal (qiyas).Niatnya baik,untuk beramal ma'ruf..tetapi mudharatnya banyak,selain merusak kemurnian ajaran islam juga menyebabkan perpecahan/pengelompokan antara umat islam yang satu dengan umat islam yang lain.

Berbeda dengan amalan sunnah,yang ada ketetapan dan perintahnya langsung dari Allah Dan Rasul-Nya,dalilnya pun jelas dan bisa di kaji dalam kitab-kitab fiqih karangan para imam dan alim ulama.

Selain itu amalan bid ah mempunyai pengkhususan,,semisal mengadakan tahlilan memperingati kematian almarhum.Ini ada pengkhusannya yaitu harus pada 7 hari,10 hari dst setelah kematian almarhumJadi yang bid ah nya itu bukan baca al-qur'annya,dzikirnya,atau shalawatannya,tetapi ketetapan khusus yang mengiringi amalan amalan tersebut.

Membaca Al-qur an,dzikir,berdoa,dan bershalawat memang disyariatkan,tetapi untuk penetapan khususnya seperti waktu,tata cara pelaksanaan,dan sebab pelaksanaannya itu membutuhkan dalil lagi.

Jika tidak ada nash dari Al-qur an dah hadist yang terang memerintahkan,maka jadilah amalan itu amalan yang diada adakan (bid'ah).Dan setiap bid'ah itu sesat,tanpa terkecuali sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Al qur'an,Hadist,atsar sahabat Rasul,dan kitab para Imam.

Berikut dalil bahwa setiap bid ah sesat..

1)Dalil Dari AL-Qur'an

 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)

Imam Malik bin Anas (93 –  179 H) berkata, “Barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah dalam Islam yang ia pandang hal itu baik (bid’ah hasanah), maka sungguh dia telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah agama ini. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan agama-mu untukmu…” [Al-Maa-idah:[3]

. (Imam Malik rahimahullah selanjutnya berkata), “Maka sesuatu yang pada hari itu bukanlah ajaran agama, maka hari ini pun sesuatu itu bukanlah ajaran agama” [Al-I’tisham (I/ 64-65) tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly cet. I, th. 1412 H, Daar Ibni Affan]

Sedang Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. QS Al-An'am (6) : 153

Diriwayatkan dari Abul Hujjaj bin Jubair Al-Makky menafsirkan (dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain), beliau berkata yang dimaksud dengan  (jalan-jalan yang lain) adalah bid’ah dan syubuhat.

2)Dalil dari Hadist Shahih


“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Shåhih, HR. Muslim no. 867)

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i )

’’Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (sebab) sesungguhnya perkara yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.’’(HR.Abu Daud dan Tirmidzi.)

"Benar-benar suatu kaum dari umatku akan ditolak dari telaga sebagaimana unta asing ditolak (dari kerumunan unta)”, maka aku berkata : “Ya Allah itu adalah umatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

 “Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara yang baru (bid’ah) atau mendukung pelaku bid’ah maka akan mendapatkan laknat Allah, para malaikat dan manusia semuanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)


“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676.)

‘’Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada padanya (dasarnya dalam) urusan (agama) kita, maka dia tertolak.’’(HR.Muslim).

 "Barangsiapa yang membuat (sesuatu yang baru) dalam urusan(agama) kita ini, yang bukan darinya (Al-Qur’an dan Hadits) maka dia adalah tertolak.’’(HR.Bukhari dan Muslim).

"Allah tidak akan menerima amalan pelaku (pembuat) bid'ah hingga ditinggalkan bid'ah tersebut". (Hadis Riwayat Ibn Majah )

"Tidak akan (dibiarkan) berlaku bid'ah pada satu kaum, kecuali akan dicabut (oleh Allah) satu sunnah dari mereka yang sepertinya. Maka berpegang kepada sunnah lebih baik dari melakukan (mencipta) satu bid'ah". (Hadis Riwayat Ahmad )

“Sesungguhnya agama (ini) akan terhimpun dan berkumpul menuju Hijaz layaknya terhimpun dan terkumpulnya ular menuju liangnya dan sungguh (demi Allah) agama (ini) akan ditahan (untuk pergi) dari Hijaz sebagaimana (ditahannya) panji (yang merupakan tempat kembali dimana kaum Muslim kembali padanya) dari puncak gunung. Sesungguhnya agama ini muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka berbahagialah orang-orang yang terasing. Yaitu orang-orang yang memperbaiki sunnahku yang telah dirusak oleh manusia setelahku”. (HR. Abu Issa berkata, “Hadist ini Hasan)

Siapakan orang-orang terasing itu?Abdullah bin Amr r.a  menjelaskan bahwa beliau bertanya pada Rasulullah saw,dan Rasulullah saw bersabda,"Mereka adalah orang-orang yang shaleh,Mereka adalah sedikit dalam keramaian,lebih banyak yang ingkar kepada mereka daripada yang taat.(Musnad,I/398)

3) Dalil dari Sahabat Rasulullah

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

"Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)

“Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar SERTA JAUHILAH BID’AH.” (Al I’tisham Asy Syatibi 1/112)


Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

“Berpeganglah kamu dengan ilmu (As Sunnah) sebelum diangkat dan berhati-hatilah kamu dari mengada-ngadakan yang baru (bid'ah) dan melampaui batas dalam berbicara dan membahas suatu perkara,hendaknya kalian teteap berpegang dengan contoh yang telah lalu.” (Sunan Ad Darimy 1/66 nomor 143, Al Ibanah Ibnu)

“Sederhana dalam as-sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid'ah” (Ibnu Nashr 30, Al Lalikai 1/88 nomor 114, dan Al Ibanah 1/320 nomor 161)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa berkata
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)

Umar Bin Abdul Aziz berkata,"

"Jika kamu mengucapkan bahwa ada suatu perkara yang terjadi sesudah mereka,maka ketahuilah tidak ada yang mengada-ngadakan sesuatu (bid'ah) sesudah mereka (para sahabat) melainkan orang orang yang mengikuti sunnah yang bukan sunnah mereka (sahabat) dan menganggap dirinya tidak membutuhkan mereka . Padahal para shahabat itu adalah pendahulu bagi mereka. Mereka telah berbicara mengenai agama ini dengan apa yang mencukupi dan mereka telah jelaskan segala sesuatunya dengan penjelasan yang menyembuhkan, …(Asy Syari’ah Al Ajurri 212)
 Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata:

“Maka waspadalah kalian dari sesuatu yang diada-adakan, karena sesungguhnya apa-apa yang diada-adakan adalah kesesatan”. (Riwayat Abu Daud no. 4611)


Abu Musa Al As’ari Radhiyallahu 'anhu memasuki masjid Kufah, lalu didapatinya di masjid tersebut terdapat sejumlah orang membentuk halaqah-halaqah (duduk berkeliling). Pada setiap halaqah terdapat seorang Syaikh, dan didepan mereka ada tumpukan kerikil, lalu Syaikh tersebut menyuruh mereka (yang duduk di halaqah) : “Bertasbihlah (ucapkan subhanallah) seratus kali!”, lalu mereka pun bertasbih (menghitung) dengan kerikil tersebut. Lalu Syaikh itu berkata kepada mereka lagi : “Bertahmidlah (ucapkan alhamdulillah) seratus kali!” dan demikianlah seterusnya ……

Maka Abu Musa Radhiyallahu 'anhu mengingkari hal itu dalam hatinya dan ia tidak mengingkari dengan lisannya. Hanya saja ia bersegera pergi dengan berlari kecil menuju rumah Abdullah bin Mas’ud, lalu iapun mengucapkan salam kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin mas’ud pun membalas salamnya. Berkatalah Abu Musa kepada Abu Mas’ud : “Wahai Abu Abdurrahman, sungguh baru saja saya memasuki masjid, lalu aku melihat sesuatu yang aku mengingkarinya, demi Allah tidaklah saya melihat melainkan kebaikan. Lalu Abu Musa menceritakan keadaan halaqah dzikir tersebut.

Maka berkatalah Abu Mas’ud kepada Abu Musa : “Apakah engkau memerintahkan mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka? Dan engkau memberi jaminan mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang sedikitpun?!” Abu Musa pun menjawab : “ Aku tidak memerintahkan suatu apapun kepada mereka”. Berkatalah Abu Mas’ud : “Mari kita pergi menuju mereka”.

Lalu Abu Mas’ud mengucapkan salam kepada mereka. Dan mereka membalas salamnya. Berkatalah Ibnu Mas’ud :“Perbuatan apa yang aku lihat kalian melakukannya ini wahai Umat Muhammad?” mereka menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, ini adalah kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih, tahmid, dan tahlil, dan takbir”. Maka berkatalah Abu Mas’ud : “Alangkah cepatnya kalian binasa wahai Umat Muhammad, (padahal) para sahabat masih banyak yang hidup, dan ini pakaiannya belum rusak sama sekali, dan ini bejananya belum pecah, ataukah kalian ingin berada diatas agama yang lebih mendapat petunjuk dari agama Muhammad ? ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan? Mereka pun menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, demi Allah tidaklah kami menginginkan melainkan kebaikan”. Abu Mas’ud pun berkata :

"Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya”.

Berkata Amru bin Salamah : “Sungguh aku telah melihat umumnya mereka yang mengadakan majelis dzikir itu memerangi kita pada hari perang “An Nahrawan” bersama kaum Khawarij”. (Riwayat Darimi dengan sanad shahih)

Aku (Syaikh Musa Nasr) berkata : “Firasat Ibnu Mas’ud terhadap mereka (yaitu ahli bid’ah yang mengadakan halaqah dzikir) benar, dimana ahli bid’ah itu bergabung bersama kaum khawarij disebabkan “terus menerusnya” mereka dalam kebid’ahan. Dan inilah akhir kesudahan seseorang yang “terus menerus” dalam kebid’ahannya, serta menyelisihi para sahabat nabi.

4)Dalil dari Perkataan Para Imam


Yahya bin Al Yaman berkata :

“Saya mendengar Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata : "Bid'ah itu lebih di cintai Iblis daripada maksiat, karena pelaku maksiat masih diharapkan taubatnya sedangkan pelaku bid’ah tidak diharapkan taubatnya.” (Lihat Syarah Ushul halaman 132)

Imam Malik (Grunya Imam Syafi’i) rahimahullah berkata :

"Barangsiapa yang mengada-ngadakan  dalam islam suatu ke bid'ah an dan menganggapnya baik,berarti dia telah menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan risalah. Karena Allah telah berfirman : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.”Maka apa yang waktu itu  (Pada masa Rasulullah dan Sahabat) bukan bagian dari agama,maka pada hari ini pun bukan bagian dari agama.” (Lihat Al I’tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)"


Imam Syafi’i berkata :

"Barangsiapa yang ber-istihsan  (menganggap baik sebuah perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam AL Qur’an dan Sunnah) maka sungguh dia telah (menandingi Allah dalam) membuat Syariat."

"Aku berwasiat kepadamu dengan Takwa kepada Allah,konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.Tinggalkan bid'ah (dalam agama) dan hawa nafsu . Bertaqwalah kepada Allah sejauh yang engkau mampu. Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal. 152-154)."

“Seseorang yang meninggal dunia dengan membawa segala jenis dosa selain syirik, itu lebih ringan daripada ia meninggal dengan membawa satu kebid’ahan.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam kitab beliau Ushulus Sunnah:

“Pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang para shahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berada di atasnya, meneladani mereka serta meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”.

Sahl bin ‘Abdillah At-Tasturi rahimahullah berkata:

“Tidaklah seseorang memunculkan suatu ilmu (yang baru) sedikitpun kecuali dia akan ditanya tentangnya pada hari Kiamat ; bila ilmunya sesuai dengan sunnah maka dia akan selamat dan bila tidak maka tidak”. (Lihat Fathul Bari: 13/290)


Abu Utsman An-Naisaburi rahimahullah berkata:

“Barang siapa yang menguasakan sunnah atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan berbicara dengan hikmah, dan barang siapa yang menguasakan hawa nafsu atas dirinya baik dalam perkataan maupun perbuatan maka dia akan berbicara dengan bid’ah”. (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah : 10/244)

Seperti yang telah kita lihat bahwa banyak sekali dalil dalil yang mengatakan semua bid ah sesat.Dan dalil dalil tersebut maknanya sudah jelas sehingga tidak perlu seseorang menafsirkannya hingga keluar dari konteks aslinya,kecuali jika orang itu ahlul bid'ah yang sedang mencari pembenaran untuk hujjah mereka.Maka "wajar" jika mereka memberikan banyak penafsiran.

Barakallahu fiikum,

Wallahu A'lam bish Shawab..